Wawancara Kak Alex Nanlohy – 4 November 2017

 

 


Wawancara yang pertama kali kelompok kami lakukan adalah wawancara dengan Kak Alex yang merupakan seorang Evangelis di GPIB Kelapa Gading. Wawancara dilaksanakan pada hari Sabtu, 4 November 2017 di sebuah kafe bernama Kopium di daerah Kelapa Gading. Kami pun melakukan sesi wawancara yang dimulai dari salah seorang anggota kami, Annisa, yang membukanya dengan pertanyaan seputar keadaan antar umat beragama di Indonesia, konflik-konflik yang terjadi, dan juga cara-cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan toleransi di antara umat beragama.

Kak Alex pun menjawab dengan menyatakan bahwa keadaan umat beragama di Indonesia sebenarnya tidak separah yang disebarkan oleh media sebab di beberapa daerah masihlah dapat dilihat toleransi nyatanya dan apabila berhubungan dengan konflik-konflik di Indonesia, umumnya disebabkan oleh berbagai macam faktor seperti kesenjangan ekonomi, mayoritas-minoritas suku, dan sebagainya. Agama sendiri hanya dijadikan sebagai sebuah kendaraan saja. Toleransi pun memegang peranan penting untuk mengeradikasi ataupun meminimalisir permasalahan yang timbul ini dengan cara mengecek kembali informasi-informasi yang diterima dari media sekaligus menyebarluaskan pendidikan sehingga masyarakat menjadi berpikiran lebih terbuka dengan perbedaan yang ada di sekitar mereka.

Salah satu cara untuk menjadi terbuka adalah dengan mendalami agama sendiri lalu barulah memahami agama orang lain sehingga dengan ini diharapkan dapat terjadi dialog antar umat beragama yang berfungsi untuk mengatasi konflik-konflik yang dapat terjadi. Dialog antar umat beragama merupakan suatu hal yang esensial dan seharusnya dilakukan oleh masyarakat secara meluas, bukan hanya orang-orang yang berada di atas atau pemuka-pemuka agama saja. Pertanyaan pun dilanjutkan kepada apa yang dapat dilakukan untuk mengurangi konflik antar agama namun Kak Alex sekali lagi mengatakan bahwa sebenarnya konflik antar agama jarang terjadi namun agama sering dikaitkan dengan politik ataupun hal-hal lainnya. Di sinilah masalah sering timbul. Sehingga untuk mencegah apa yang dikira sebagai konflik agama, masyarakat harus lebih waspada terhadap hal-hal yang dapat dipolitisasi oleh agama. Sebab agamanya sendiri sebenarnya biasa saja hanya dimanfaatkan oleh orang yang memiliki kepentingannya sendiri. Walaupun begitu, sekularisme bukanlah sebuah jalan keluar dari masalah ini karena negara Indonesia berdasarkan kepada Pancasila, dimana sila pertamanya adalah mengenai Ketuhanan. Sehingga, akan menjadi lebih baik apabila agama digunakan untuk memperkuat politik, ekonomi, dan pendidikan. Jadi dilihatnya tidak dibalik, yaitu politik dengan menggunakan agama karena dengan cara itu justru akan memecah belah masyarakat.

Mengenai kebebasan masyarakat dalam menjalankan keagamaannya, terutama bagi para penganut agama minoritas di lingkungan mayoritas, Kak Alex berpendapat bahwa di sebagian besar wilayah ini bukanlah sebuah masalah. Namun ada beberapa tempat yang memanfaatkan kemayoritasannya untuk menekan para penganut dari agama minoritas terutama ketika mereka sedang beribadah. Pertanyaan pun bergulir ke situasi sekarang dimana banyak generasi muda yang menyimpang dari bidang agama yang membuat konflik dan ini disebabkan karena kurangnya pemahaman terhadap agamanya sendiri. Satu solusi untuk mengatasi masalah ini adalah lewat FKUB yang ada di setiap kota dan seharusnya ini dimanfaatkan dengan baik oleh pemerintah dimana setiap bulan diadakan perkumpulan yang tidak hanya petinggi-petinggi agamanya saja yang datang tapi juga masyarakat penganut agama tersebut. Sehingga semua orang terlibat dalam dialog antar agama tersebut dan diharapkan akan meningkatkan kerukunan beragama.

Tetapi sekarang dimana teknologi sudah cukup berkembang dan akses ke internet mudah untuk didapatkan, banyak generasi muda yang menganggap diri mereka atheis atau tidak percaya kepada Tuhan. Ini menyatakan bahwa generasi sekarang terkikis dalam dua hal, kebangsaan dan juga keagamaan. Oleh karena, Kak Alex beserta beberapa orang dari gerejanya sedang menggiatkan seminar-seminar mengenai kedua hal tadi, seperti menjelaskan apa arti kebangsaan menurut alkitab dan ajaran orang Kristen. Dibahas pula kepentingan Pancasila dalam meningkatkan toleransi antar umat beragama sebab Pancasila merupakan penampung perbedaan-perbedaan yang ada di Indonesia, tidak dari agama saja melainkan dari suku, ras dan lainnya. Nyatanya, Pancasila dewasa ini hanya dianggap sebagai pernyataan formal saja dan tidak dipraktekan secara langsung. Oleh karena itu, peningkatan toleransi dengan menggunakan Pancasila haruslah dikombinasikan dengan rasa kemanusiaan sebab aspek lain yang mempersatukan kita sebagai suatu bangsa selain Pancasila adalah kemanusiaan dan bahasa.

Masalah lain yang sering muncul dalam generasi sekarang adalah rasa malas untuk beribadah dikarenakan cara beribadah yang terbilang monoton. Dari perspektif Kristen, cara untuk mengatasi masalah ini adalah membangun kesadaran apa itu ibadah sehingga bagi para umat yang datang, mereka mencari makna dari ibadah itu sendiri dan bukannya betapa meriahnya mereka melakukan ibadah mereka. Gereja pun harus bisa menyesuaikan sedikit dengan keadaan ini sebab setiap orang memiliki preferensi yang berbeda-beda. Dengan gereja mampu menyesuaikan terhadap hal itu, banyak pula orang yang menjadi terpanggil untuk menjalankan ibadah. Selain itu, Gereja juga memiliki tugas untuk meningkatkan toleransi terhadap antar agama. Salah satunya dengan memperkenalkan seorang patron ataupun seseorang yang dapat dijadikan panutan oleh umatnya, dalam agama Kristen misalnya seorang pendeta.

Dalam rangka Gereja menyesuaikan dengan preferensi para umatnya, ada istilah yang dinamakan Emerging Church dimana Gereja ini tidak memiliki keterikatan anggota. Ini merupakan sebuah Gereja yang tepat bagi para umat yang ingin datang namun tidak ingin dikenal oleh orang-orang sekitarnya. Sekaligus tidak ingin merasa terikat terhadap anggota Gereja. Emerging Church pun tetap memiliki pembinaan  sehingga tidak kebablasan terlalu mengikuti keinginan para umatnya. Gereja juga harus memikirkan bagaimana mereka akan menyampaikan khotbah agar para umatnya dapat mengambil makna dari khotbah tersebut tetapi mereka tidak akan merasa bosan atau terlalu monoton, terutama bagi generasi muda yang menurut Kak Alex, attention span-nya hanya sepuluh menit saja. Oleh karena itu, khotbah harus dibuat semenarik dan se-ilustratif mungkin tetapi tidak keluar dari materi. Hal penting yang perlu diperhitungkan juga, para pendeta pun harus melihat siapa audience mereka agar tipe khotbahnya pun tepat.

Pertanyaan kami pun kembali ke isu-isu mengenai agama yang sekarang sedang terjadi. Kami mempertanyakan apa yang harus dilakukan apabila agama yang kita anut  apabila terlibat konflik, haruskah kita tidak melakukan apa-apa ataukah harus membela agama kita. Menurut Kak Alex, kita harus tahu dulu apa yang kita bela. Kalau yang kita bela adalah Tuhan sendiri, tentu ia tidak perlu dibela. Sebab bisa saja ketika masyarakat melakukan pembelaan agama, yang mereka bela bukanlah Tuhan mereka namun membela apa yang mereka yakini atau kelompok mereka sendiri. Sehingga diperlukanlah sikap universal yang harus ada di setiap agama, yaitu kasih. Kasih merupakan bahasa universal yang diajarkan oleh setiap agama tanpa terkecuali. Bahasa itu dapat dipergunakan untuk mempersatukan ataupun menoleransi agama-agama yang berlainan.

Pemberian kasih ini juga harus melihat situasi pula. Apabila kita bertemu dengan seseorang yang tidak suka dengan kita karena ia diajarkan sejak dulu untuk tidak menyukai hal-hal yang membuat kita berbeda dari dirinya, tentu pemberian kasihnya akan berbeda dengan orang yang lebih terbuka terhadap perbedaan. Tetapi itu bukan berarti kita tidak perlu atau bahkan kembali membenci orang yang tidak menyukai kita, melainkan kita tetap memberikan dia kasih tetapi kita juga tidak memaksa mereka untuk menyukai kita.

Pesan yang diberikan oleh Kak Alex bagi para generasi muda adalah kita harus menggali sejarah kita. Untuk tidak menerima apa yang sudah jadi secara cuma-cuma melainkan kita harus mengetahui dasar-dasar kenapa itu dapat terjadi. Sebab bangsa yang besar adalah bangsa yang belajar dari sejarahnya. Apabila generasi muda ingin menjadi pemimpin yang besar bagi bangsa ini, penggalian sejarah merupakan suatu keharusan.


Link ke transkrip hasil wawancara :

https://drive.google.com/open?id=12Mosv68RMkivnseVhCOuOwa30bIAfoaV

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *